Actanews.id – Dugaan Korupsi dan Kolusi dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) terus menjadi sorotan. Meskipun sudah menggunakan platform elektronik, praktik ini masih berjalan dan melibatkan sejumlah oknum pejabat pemerintah dan penyedia/vendor untuk mendapatkan kontrak tidak sesuai aturan.
Sebagai bagian dari aksi pencegahan korupsi tahun 2023-2024, Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) telah meminta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), untuk memberikan akses data pengadaan melalui e-katalog, sekaligus menyusun pedoman pengawasan pengadaan menggunakan katalog elektronik, yang kerap menghadapi perubahan harga oleh penyedia.
Salah satu praktik korupsi dan kolusi yang diduga masih terjadi, adalah pembelian berulang dari penyedia/vendor yang sama, tanpa ada vendor lain yang menawarkan. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar. Ada juga kesepakatan antara PPK dan vendor untuk mark-up harga setelah barang di-upload di e-katalog, atau umumnya dipengaruhi oleh Kebijakan poltis, sehingga vendor yang sama yang menjadi prioritas.
Keterbatasan kewenangan penindakan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap korupsi PBJ, khususnya di sektor infrastruktur, semakin memperumit masalah ini. Banyak dugaan kasus korupsi yang dinilai pidana berubah menjadi kasus perdata. UU Jasa Konstruksi mengisyaratkan penanganannya melalui instansi berwenang, seperti inspektorat.
Dalam situasi ini, penting bagi pemerintah untuk melakukan kajian mendalam dan membangun sistem yang lebih efektif dan tegas dalam mendeteksi kecurangan. Transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan untuk mengurangi potensi korupsi di masa depan. Tanpa langkah konkret, e-purchasing berisiko menjadi sekadar formalitas yang tidak memberikan solusi nyata terhadap praktik korupsi yang telah mengakar.
Opini oleh : Agung Suryawirawan
Ketua Komunitas Pemerhati Banyuwangi (KPB)