Oleh : Joko Wiyono
Gelombang kemarahan masyarakat pecah di depan Gedung DPR RI, Jumat (29/8/2025). Aksi unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai berujung ricuh hingga memicu bentrokan antara massa dengan aparat kepolisian. Sejumlah demonstran dan aparat terluka, bahkan satu orang dari pihak masyarakat meninggal dunia.
Pemicu amarah publik ini, sebenarnya tidak lepas dari kontroversi kebijakan DPR RI yang kembali membahas kenaikan tunjangan. Isu yang menyulut emosi adalah tunjangan rumah sebesar Rp.50 juta per bulan untuk setiap anggota dewan, dengan dalih rumah dinas di Kalibata sudah tidak layak huni. Padahal, catatan anggaran menunjukkan negara telah menggelontorkan Rp.374 miliar untuk pemeliharaan rumah dinas sejak 2019.
Jika kebijakan baru ini benar-benar diterapkan, maka selama lima tahun DPR RI akan menghabiskan Rp.1,74 triliun hanya untuk tunjangan rumah bagi 580 anggotanya. Angka yang setara dengan pembangunan ratusan sekolah dasar baru.
Tidak berhenti di sana, publik semakin terkejut ketika daftar berbagai tunjangan anggota DPR RI terungkap: perjalanan dinas Rp.9 juta per hari, tunjangan komunikasi Rp.15,5 juta per bulan, tunjangan pajak (PPh 21) ditanggung negara, hingga pensiun.
Lebih ironis lagi, tunjangan yang sifatnya “absurd” atau tidak masuk akal turut menghiasi, seperti tunjangan Rp.3,75 juta per bulan untuk fungsi pengawasan, padahal itu adalah tugas utama DPR sebagai lembaga legislatif. Belum lagi tunjangan bagi anggota keluarga dan tunjangan kredit kendaraan.
Kemarahan publik semakin menjadi ketika beberapa anggota dewan tampak berjoget dalam acara internal di tengah isu kenaikan tunjangan. Arogansi dan ketidakpekaan inilah yang akhirnya memantik protes besar hingga ricuh.
Fenomena di Senayan seyogianya menjadi cermin bagi DPRD di daerah, termasuk di Banyuwangi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 dan Permendagri Nomor 62 Tahun 2017, anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi pada 2024 diperkirakan menerima penghasilan kotor sekitar Rp.50–53 juta per bulan. Setelah dipotong pajak, jumlah bersih yang dibawa pulang berkisar Rp.42–45 juta.
Rinciannya meliputi gaji pokok Rp.2,1 juta, tunjangan jabatan Rp. 2,2 juta, tunjangan transportasi Rp.12 juta, tunjangan perumahan Rp.19 juta, serta tunjangan komunikasi intensif Rp10,5 juta, di luar uang representasi, tunjangan keluarga, reses, hingga tunjangan beras. Meski estimasi diatas bersifat indikatif, namun angka-angka tercantum diatas bisa di verifikasi resmi.
Jumlah ini tentu tidak kecil, bahkan setara dengan 20 kali lipat gaji buruh di Banyuwangi. Namun, pertanyaan besarnya: apakah fasilitas besar yang diterima sebanding dengan kinerja dewan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat?
Secara normatif, DPRD Banyuwangi memiliki tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Dalam praktiknya, fungsi penyerapan aspirasi masyarakat justru kerap dianggap formalitas. Banyak keluhan warga, mulai dari jalan desa rusak, pelayanan publik lamban, hingga masalah pendidikan dan kesehatan, belum ditindaklanjuti secara maksimal.
Reses sering kali hanya berakhir sebagai agenda seremonial, laporan kegiatan, tanpa ada hasil konkret yang dirasakan masyarakat. Bahkan ada warga yang mengaku aspirasinya sekadar dicatat tanpa pernah difasilitasi, sebuah pengkhianatan terhadap sumpah jabatan wakil rakyat.
Kritik terhadap DPR dan DPRD bukan sekadar persoalan angka tunjangan. Intinya adalah ketimpangan etis dan moral antara kesejahteraan pejabat publik dengan penderitaan rakyat. Ketika rakyat bergulat dengan biaya hidup, layanan kesehatan, dan pendidikan, wakil rakyat justru menuntut tambahan fasilitas yang mewah.
Jabatan politik bukanlah jalan pintas untuk kesejahteraan pribadi, melainkan amanah untuk memperjuangkan suara rakyat. Jika tidak mampu, maka wajar bila masyarakat turun ke jalan, bahkan dengan risiko bentrokan, untuk menagih janji demokrasi yang semakin jauh dari realita.
Wakil rakyat, baik di Senayan maupun di Banyuwangi, harus segera mengembalikan orientasi kerja kepada mandat konstitusi, bukan kepada kenyamanan pribadi. Sebab, tunjangan sebesar apa pun tak akan mampu membeli kepercayaan publik .