Alih-alih memberi teladan dalam pengelolaan anggaran yang hemat dan bijak, Dinas Pendidikan Banyuwangi justru memberi contoh sebaliknya. Rapat koordinasi kepala sekolah SMP se-Kabupaten Banyuwangi yang digelar pada Selasa, 11 Maret 2025, di suatu hotel mewah, menunjukkan betapa deviasi (perbedaan) antara semangat efisiensi yang disuarakan Presiden Prabowo Subianto dengan praktik birokrasi di daerah masih sangat kentara.
Pertemuan yang dilangsungkan di luar jam kerja dan dibarengi dengan buka puasa bersama itu menjadi sorotan publik, bukan hanya karena tempatnya yang mewah, tetapi juga karena potensi pemborosan anggaran daerah. Padahal, pesan Presiden sangat jelas: efisiensi anggaran adalah keniscayaan dalam iklim fiskal nasional yang menuntut penghematan di semua lini.
Rizki Kurniawan, Ketua LSM Blambangan Anti Korupsi (BLAK), menyebut undangan resmi dari Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi, Suratno, sebagai kejanggalan administratif sekaligus simbol kemewahan yang tak perlu. Apalagi pertemuan dilakukan pada pukul 15.00 WIB, jelas di luar jam kerja resmi dengan seluruh peserta tetap mengenakan seragam dinas lengkap.
Yang lebih mengkhawatirkan, acara ini ternyata tak hanya berisi rapat biasa, tetapi juga diselipi dengan pemesanan buku oleh penerbit kepada para kepala sekolah. Dengan dalih “pelengkap koleksi perpustakaan”, sekolah-sekolah diminta membeli puluhan eksemplar satu judul buku, di luar sistem pengadaan resmi seperti SIPLah. Di sinilah aroma pengondisian dan potensi penyalahgunaan kewenangan mulai tercium.
Kepala sekolah yang enggan disebutkan namanya mengaku diminta menandatangani lembar pemesanan yang bahkan sudah tertera harga dan jumlah eksemplarnya, satu sekolah bisa mencapai 76 buku dari satu judul. Bukannya memperkaya ragam literasi di perpustakaan, pendekatan seperti ini justru mendangkalkan makna peningkatan mutu literasi, yang mestinya berbasis pada keberagaman judul, bukan kuantitas (banyaknya) eksemplar.
Dinas Pendidikan Banyuwangi seakan tak belajar dari berbagai kritik publik sebelumnya soal pemborosan anggaran dan rendahnya sensitivitas birokrasi terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Penjelasan Kepala Dinas yang seolah cuci tangan dengan melempar tanggung jawab kepada Kabid SMP juga menambah kesan lemahnya koordinasi dan akuntabilitas internal dinas.
Masyarakat Banyuwangi pantas mempertanyakan: ke mana arah prioritas pendidikan daerah? Apakah anggaran pendidikan lebih penting digunakan untuk fasilitas dan kesejahteraan siswa, atau justru dihabiskan dalam hotel berbintang dan pembelian buku yang belum tentu dibutuhkan?
Efisiensi anggaran bukan sekadar slogan, melainkan tanggung jawab moral dan hukum. Bila Dinas Pendidikan masih abai terhadap hal ini, maka kontrol publik dan penegakan aturan harus mulai digencarkan. Jangan sampai pendidikan dijadikan ruang nyaman untuk praktik para elit pendidikan, dan mengabaikan esensi pelayanan publik.
Oleh : Joko Wiyono, Komunitas Pemerhati Banyuwangi (KPB)