banner 728x250
opini  

Di Banyuwangi, Demokrasi Jalan, Watchdog Gagal?

Oleh: Joko Wiyono

Pasca puncak kerusuhan di ibu kota pada penghujung Agustus 2025, yang dipicu pernyataan anggota DPR RI serta tunjangan mereka yang kontroversial, gelombang demonstrasi diprediksi menyebar hingga ke daerah, termasuk Banyuwangi. Meski tuntutan demonstran beragam, fokus utama tetap sama: perlunya empati, transparansi, dan akuntabilitas pemerintah. Fenomena ini menandai demokrasi berjalan, sekaligus menjadi momentum bagi pemerintah pusat untuk memperhatikan persoalan daerah, termasuk kasus dugaan korupsi mantan pejabat BKD Banyuwangi, berinisial NH, yang kembali dimunculkan  di tengah kondisi rawan kerusuhan saat ini.

Sejak lama, kasus NH telah disuarakan masyarakat melalui  aktivis, LSM, NGO atau ormas (kita sederhanakan dengan sebutan CSO : Civil Society Organization). Namun hingga kini, tidak ada kepastian hukum atau transparansi prosesnya. Perjuangan watchdog lokal untuk menegakkan keadilan seringkali dinilai tidak berhasil optimal, sementara tuntutan masyarakat tampak menggantung tanpa kejelasan. Meski aksi demonstrasi, pengaduan dari berbagai CSO yang berbeda dan secara bergantian sudah dilakukan berulang kali, tanggapan maupun tindak lanjut tidak terlihat.

Data yang ada hingga pertengahan 2025 menunjukkan bahwa pergerakan LSM, NGO, dan ormas dalam fungsi pengawasan, kontrol sosial serta pencegahan korupsi belum konsisten. Sebagian kelompok aktif mendorong akuntabilitas, tetapi sebagian lain terserap ke jejaring patronase pemerintah daerah Banyuwangi, dengan memainkan peran sebagai “mitra implementasi”. Alih-alih sebagai pengawas kritis, beberapa CSO justru berperan sebagai “mediator program pemerintah ke masyarakat”,  sehingga terjadi praktik co-optation, di mana pengawasan  berubah menjadi loyalitas politik pada penguasa, untuk mendapatkan imbalan.

Akibatnya, peran antara menjadi watchdog dengan sebagai agen pelaksana program menjadi kabur. Fungsi kontrol sosial tidak efektif, karena kepentingan publik sering kalah dengan kepentingan pribadi/kelompok atau politik, sementara pengawasan formal, seperti melalui MCP (Monitoring Center for Prevention), JAGA (Jaringan Aspirasi dan Pengawasan), atau RUPT (Rapat Umum Pemegang Tanggung Jawab/ semacam forum pengawasan) hanya menjadi mekanisme administratif tanpa tekanan nyata dari masyarakat/ CSO yang masih independen.

Praktek co-optation terlihat jelas dalam forum kemitraan top-down (diantaranya pertemuan berdalih  kondusifitas yang di fasilitasi pemguasa). Ketergantungan pendanaan pada pemkab Banyuwangi dan keterbatasan kapasitas membuat banyak CSO/organisasi sipil tersebut terdorong menjadi pelaksana program, baik infrastruktur maupun non-infrastruktur,  bukan sebagai pengawas independen. Hal ini melemahkan fungsi kontrol sosial dan berpotensi menimbukan praktik maladministrasi serta korupsi tetap berjalan tanpa sanksi.

Meski ada beberapa keberhasilan kasus per kasus, seperti aduan ke Ombudsman atau penindakan terkait DD/ADD dan proyek dinas PU, kebihakan publik maupun di bidang birokrat, namun sekali lagi, tindak lanjut dan pengawasan secara sistemik belum konsisten dan terselesaikan secara profesional. Mekanisme formal ada, tetapi tanpa tekanan warga dan CSO independen, fungsinya hanya sebatas compliance administratif (kepatuhan secara asminstratif), bukan fungsi utama  sesuai kontrol dan pengawas sesuai diatur undang-undang.

Kegagalan ini menunjukkan bahwa demokrasi, meski terwujud melalui demonstrasi atau mekanisme administrasi, tidak cukup tanpa pengawasan CSO independen yang konsisten untuk memajukan Banyuwangi dan melindungi rakyat kecil. LSM, NGO dan ormas yang seharusnya menjadi pengawas kritis justru sering menjadi “kaki tangan” pemerintah karena ketergantungan pendanaan dan peran dalam program.

Banyuwangi memiliki mekanisme formal dan ruang bagi partisipasi sipil, namun kontrol sosial masih gagal secara sistemik! Tanpa adanya lembaga pengawas independen yang konsisten, transparan, dan berkelanjutan, kasus-kasus korupsi dan kwbijakan yang tidak tepat akan terus menggantung tanpa kepastian hukum. Kita lihat, akumulasi  persoalan terus timbul dalam proses pelaksanaan pemerintahan di Banyuwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *