Oleh: Syafaat
Saya pernah berdiri di tribun stadion itu. Sendirian. Sore hari, matahari hampir tenggelam, dan anak-anak kecil bermain bola di tengah lapangan yang mulai kelelahan oleh musim. Mereka tertawa, berlarian, menendang bola ke arah yang tidak tentu. Saya tidak sedang mencari siapa menang siapa kalah, hanya ingin tahu: siapa yang pernah menangis di tempat ini?
Stadion Diponegoro. Begitu namanya.
Saya kira, seperti banyak orang lain yang lahir dan besar di Banyuwangi, tidak pernah sungguh-sungguh bertanya: mengapa namanya begitu? Diponegoro. Nama besar. Pangeran agung. Jawa Tengah. Bukan nama yang tumbuh dari tanah ini. Tapi tetap kita ucapkan, tanpa keberatan.
Saya pikir, kita ini bangsa yang terlalu cepat memaafkan dan terlalu lambat mencurigai.
Apakah salah jika stadion ini dinamai seperti itu? Tidak juga. Tapi apakah tepat? Itu pertanyaan yang datangnya lebih pelan, seperti hujan malam hari yang mengetuk jendela tanpa membuat gaduh.
Banyuwangi punya luka. Dan dari luka itu tumbuh nama-nama yang pantas dikenang: Sayu Wiwit, perempuan pemberani yang tak rela negerinya diserahkan begitu saja. Atau Rempeg Jogopati, darahnya tumpah di tanah ini demi tanah ini. Atau Minak Jinggo, yang namanya lebih sering muncul dalam sindiran ketimbang sejarah. Tapi mereka semua—dengan caranya masing-masing—adalah cerita yang kita punya. Bukan pinjaman dari sejarah pusat.
Saya tidak sedang mempersoalkan nasionalisme. Saya sedang memikirkan kenangan. Karena nasionalisme adalah sesuatu yang besar, dan kenangan adalah sesuatu yang dekat. Kita bisa mencintai negara dengan kepala, tapi mencintai tanah kelahiran dengan hati.
Dan stadion, percaya atau tidak, adalah tempat hati orang-orang berkumpul. Di situ tawa dan tangis saling bersahutan. Di situ kegagalan dan kemenangan saling mengejek. Di situ, kita bukan lagi orang tua atau anak kecil, bukan ASN atau tukang las, bukan politisi atau pengangguran. Di situ, kita semua adalah suporter.
Maka ketika sebuah tempat menyatukan banyak hati, tidakkah ia berhak memiliki nama yang akrab? Nama yang terasa seperti nama tetangga, bukan nama dari halaman buku sejarah kelas 5 SD?
Bayangkan saja, suatu saat nanti ada seorang bocah kecil bertanya kepada ayahnya: “Pak, siapa Sayu Wiwit?” Dan sang ayah menjawab sambil menunjuk ke arah stadion: “Dia perempuan dari tanah ini. Ia berani. Ia gugur. Tapi keberaniannya tidak mati.”
Dan bocah itu akan mencatat dalam hatinya, bahwa tanah tempat ia tumbuh bukan hanya punya sawah dan pantai, tapi juga keberanian.
Tapi tidak semua orang ingin mengingat. Kita lebih suka membangun daripada menggali. Lebih senang memperluas jalan daripada menyusuri jejak. Maka jadilah kita orang-orang modern yang kehilangan narasi.
Padahal, seperti kata seorang teman saya yang penyair, “Negeri tanpa narasi, seperti rumah tanpa pintu. Siapa pun bisa masuk, dan siapa pun bisa keluar. Tapi tak ada yang tinggal.”
Saya membayangkan nama stadion itu diganti. Bukan karena marah. Tapi karena rindu. Rindu pada narasi kita sendiri. Rindu pada sejarah yang tumbuh dari kebun belakang rumah. Rindu pada nama-nama yang akrab di telinga, meskipun sudah ratusan tahun terkubur.
Sayu Wiwit. Rempeg Jogopati. Minak Jinggo.
Nama-nama itu tidak butuh patung. Mereka hanya butuh diucapkan. Diulang. Dihidupkan kembali lewat papan nama, lewat mural, lewat teriakan anak-anak di tribun.
Dan kalau pun tidak bisa diganti, setidaknya kita mulai bicara. Tentang kenapa namanya seperti itu. Tentang siapa kita sebenarnya. Tentang suara-suara yang selama ini hanya terdengar di kepala, tapi tidak pernah diberi panggung di kota sendiri.
Karena stadion bukan hanya tempat bertanding. Ia juga tempat mengenang. Tempat menyimpan gema. Tempat menyulam kembali serpihan-serpihan identitas yang mulai koyak.
Dan jika suatu saat saya kembali berdiri di tribun itu, saya ingin bisa berkata pada diri saya sendiri:
“Aku tidak sedang menonton pertandingan. Aku sedang berdiri di sebuah cerita. Di halaman sebuah kisah yang pernah nyaris terlupakan. Tapi hari ini, diceritakan kembali.”