Bupati Banyuwangi, Ipuk Fiestiandani, memilih keluar dari zona nyaman kekuasaan. Melalui program “Bunga Desa” (Bupati Ngantor di Desa), ia menunjukkan bentuk kepemimpinan yang tidak hanya hadir secara simbolik, administratif, tetapi juga nyata merasakan denyut kehidupan masyarakat di akar rumput.
Alih-alih dianggap sebagai seremoni belaka, “Bunga Desa”, namun patut diapresiasi sebagai wujud komitmen pemerintah daerah untuk meruntuhkan tembok birokrasi yang selama ini membuat warga merasa jauh dari pengambil kebijakan. Dengan datang langsung ke desa-desa, Bupati tidak hanya mendengar aspirasi warga, tetapi juga menyaksikan langsung berbagai kondisi riil yang sering kali luput dari laporan formal. Ini adalah bentuk keberanian politik untuk melihat kenyataan tanpa penyaring.
Mereka yang menganggap kehadiran Bupati ke desa sebagai “pencitraan” tampaknya lupa bahwa kepemimpinan yang baik dimulai dari empati dan keterlibatan langsung. Program ini telah menghadirkan akses layanan yang lebih cepat, membuka ruang dialog antara warga dan pemerintah, serta memperkuat rasa kepercayaan masyarakat terhadap negara. Dalam banyak kesempatan, warga menyampaikan keluhan dan usulan tanpa perantara, sesuatu yang tak mungkin terjadi jika semua urusan ditangani hanya lewat mekanisme administratif di kabupaten.
Tentu, program ini bukan tanpa tantangan. Tapi menyebutnya sebagai penanda kelemahan birokrasi adalah pembacaan yang terlalu sempit. Justru, keberanian untuk turun langsung ke lapangan adalah langkah korektif yang membuktikan bahwa pemerintahan ini tak menutup mata terhadap kekurangan. Ia ingin memperbaiki dari dalam, dimulai dari kedekatan yang manusiawi dan nyata.
Lebih jauh, Bunga Desa tidak semata untuk menunjukkan kehadiran Bupati, melainkan untuk mendorong seluruh aparatur daerah agar peka dan responsif terhadap masalah di tingkat desa. Efek domino dari kunjungan ini bisa dirasakan dengan meningkatnya semangat gotong royong, penyelesaian cepat atas layanan kesehatan dan pendidikan, hingga penguatan kelembagaan desa itu sendiri.
Publikasi kegiatan melalui media sosial bukanlah bentuk politisasi, melainkan bagian dari transparansi publik. Masyarakat berhak tahu apa yang dilakukan pemerintahnya. Justru, keterbukaan inilah yang membedakan antara pencitraan kosong dan pelaporan kinerja yang akuntabel.
Kita perlu jujur mengakui bahwa kehadiran pemimpin di tengah masyarakat adalah kebutuhan zaman. Ketika rakyat merasa dilihat dan didengar, maka kepercayaan akan tumbuh, partisipasi meningkat, dan pemerintahan berjalan lebih sehat. Bunga Desa adalah manifestasi dari semangat pelayanan, bukan retorika kosong. Ia adalah jembatan nyata antara kekuasaan dan rakyat, antara niat baik dan tindakan langsung.
Oleh : Joko wiyono – Komunitas Pemerhati Banyuwangi