Suasana bulan Syawal membawa saya, silahturahmi berkunjung ke kantor redaksi Aktualline.com, milik Moh.Husen yang berlokasi di Jalan KH.Wahid Hasyim, Dusun Prejengan, Rogojampi, Banyuwangi. Kantor ini tidak megah, tidak pula dipenuhi perabot redaksi yang ramai dengan peralatan modern seperti yang biasa kita lihat. Namun justru dari kesederhanaan itu, saya menemukan hal yang berarti, yakni gagasan, semangat dan Inspirasi.
“Beginilah mas, kantorku,” ucap Husen, sambil tersenyum. Hanya satu meja kerja, satu laptop beserta printer, dan hiasan di dinding tergantung foto agak buram dari Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) ukuran 10R, berdampingan dengan Husen. Namun saya tau, dari meja kecil itulah lahir banyak karya tulis.

Di Kabupaten Banyuwangi, Moh.Husen telah dikenal sebagai penulis buku. Beberapa karyanya telah diterbitkan dan dibaca banyak kalangan, bahkan tokoh seperti Samsudin Adlawi pernah memberikan kata pengantar untuk bukunya.
Kami saling lebih mengenal sejak 4 tahun lalu, saat saya masih sergabung dalam satu ormas dengannya, dan tak jarang isi buku-bukunya saat itu menjadi bahan diskusi kami bersama teman-teman lainnya.
Kunjungan pada Sabtu (12/4/2025) siang ini, makin terasa hangat, tak hanya karena secangkir kopi hitam yang disajikan, tetapi juga karena obrolan yang menarik dari dunia pers, tentang wartawan, menulis, menyebarkan wawasan, dan Husen menyampaikan sebuah refleksi penting.
“Kebanyakan orang lebih mudah mengungkapkan pemikiran secara lisan daripada menuliskannya. Tulisan itu adalah warisan. Bukan hanya menyimpan ilmu, tapi juga hasil kemampuan kratifitas karya sastra.”
Bagi Husen, menulis bukan sekadar soal keterampilan teknis, namun juga perjalanan batin, psikologi dan renungan kehidupan, tempat seorang wartawan/penulis diuji kepekaannya, ketulusannya, dan kemampuannya merangkul perbedaan.
“Seorang wartawan atau penulis itu harus punya hati peka, bisa merasakan, menerima meski pada hal yang bukan pilihannya,” katanya.
Pernyataan itu menggugah. Kita hidup di zaman ketika semua orang ingin bicara, namun sedikit yang ingin mendengarkan. Terlebih lagi, tidak banyak yang menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan secara bijak, jujur, dan membangun.
Selama hampir tiga jam, obrolan kami mengalir tentang idealisme, dunia pers, dan peran wartawan sebagai penjaga nurani masyarakat. Saya pun diingatkan bahwa wartawan bukan sekadar penyampai berita. Profesinya adalah ruang pembelajaran, tempat membangun peradaban, dan sarana memperkuat empati serta keberagaman.
Dari Husen, saya belajar bahwa menulis itu seperti bertani: harus disiapkan, dirawat, dan dipanen dengan sabar. Bukan untuk kejar viral, dan kecepatan belaka, tapi untuk menyuburkan akal dan hati masyarakat.
Media boleh saja lahir dari kantor yang sederhana, tapi jika diisi oleh orang-orang yang berpikir dalam dan menulis dengan kesungguhan, maka ia akan menjadi besar bermakna dan berintegritas.
“Ayo mulai menulis. Karena ketika kita menulis, kita sedang membangun peradaban.”
Oleh : Joko Wiyono, SH. – komunitas Pemerhati Banyuwangi (KPB)