banner 728x250
opini  

Banjir Dukungan untuk Pj Sekda : Antara Meritokrasi, Etika, dan Kepentingan

Oleh: Joko Wiyono

Saat ini di Kabupaten x, perhatian publik tertuju pada Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah yang masa jabatannya telah diperpanjang. Dukungan agar ia segera diangkat menjadi Sekda definitif mengalir deras, dari aktivis dan tokoh masyarakat. Dukungan itu bahkan diungkapkan secara terbuka melaui platform media online.

Tak bisa disangkal, Pj Sekda tersebut memiliki rekam jejak yang kuat, dengan gelar doktor, insinyur, magister manajemen, dan pengalaman panjang di birokrasi. Dalam sistem meritokrasi, kualifikasi tersebut memang pantas didapatkannya.

Namun, perlu tetap jernih menilai. Usia yang mendekati masa pensiun bisa menjadi pertimbangan. Mengangkatnya sebagai Sekda definitif di akhir karier bisa secara serius  mengganggu kesinambungan program daerah dan menimbulkan preseden buruk, seolah tekanan sosial dan politik dapat menyingkirkan proses seleksi terbuka yang objektif.

Padahal, pengangkatan Sekda diatur tegas, diantaranya pada : Perpres No. 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah, Permendagri No. 91 Tahun 2019 tentang Penunjukan Penjabat Sekretaris Daerah, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU ASN, yang prinsipnya mewajibkan seleksi terbuka berbasis kompetensi dan integritas.

Dalam perspektif etika dan agama, dukungan terhadap pemimpin bukanlah hal yang keliru. Namun, ketika dukungan berubah menjadi tekanan masif tanpa pertimbangan objektif, maka kita patut waspada. Islam mengingatkan agar tidak berlebihan dalam mendukung (ghuluw), karena hal itu dapat mengaburkan keadilan.

Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa: 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan menetapkan hukum dengan adil…”

Ayat ini menegaskan bahwa jabatan adalah amanah, dan penetapannya harus berdasarkan prinsip keadilan, bukan karena loyalitas kelompok.

Apakah dukungan  tersebut tulus murni karena kinerja untuk kemajuan daerah, atau ada kepentingan tertentu untuk mempertahankan akses terhadap kekuasaan dan mendapat “kue” pembangunan?

Fenomena ini menguji komitmen kita pada prinsip meritokrasi. Jabatan bukan sekadar hadiah loyalitas, tetapi amanah yang harus dipilih melalui proses yang bersih dan profesional.

Jika memang Pj.Sekda layak, biarlah seleksi terbuka yang membuktikannya. Kita butuh sistem yang adil bukan sekadar dukungan “keras”, tapi juga suara yang waras.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *