banner 728x250

Ziarah Yang Sunyi: Tentang Haji, Janji, dan Keberanian

Saya berziarah haji, bukan ke Tanah Suci, melainkan ke rumah seorang sahabat lama. Selepas salat Isya, di sebuah sudut perempatan perumahan yang temaram, lampu-lampu menggantung tanpa semangat, kopi hitam diseduh tanpa banyak basa-basi, bersanding kurma dan air zamzam. Aroma kopi menyerupai doa yang tak rampung; dan sunyi malam terasa khidmat, seperti subuh di bulan ganjil.

Kami duduk bersisian di teras, seperti dua lelaki yang paham: usia telah mengubah haluan cinta, dan persahabatan tak lagi menuntut cerita panjang, cukup diam, menyimak semesta dari denting sendok di dasar gelas. Sebab dalam ziarah seperti ini, yang paling penting bukanlah oleh-oleh atau kisah panjang, melainkan secercah doa dan motivasi agar suatu saat benar-benar sampai ke Tanah yang dirindukan.

Sahabat saya, teman seangkatan saat belajar hukum, kini berpangkat komisaris polisi. Tahun ini ia berangkat haji. Tapi obrolan kami tak banyak menyentuh teori ibadah, ia justru lebih tertarik menceritakan soal logistik, strategi lapangan, dan seni menyiasati rute manusia yang tak tertebak.

Ia memilih KBIHU, bukan karena eksklusifitasnya, melainkan karena fleksibilitas. “Kami ini polisi. Waktu kerja sering bentrok dengan jadwal bimbingan dari pemerintah,” katanya. KBIHU memberikan pelatihan di hari libur, walau berbayar. Namun ia tetap ikut bimbingan Kemenag karena kurikulumnya lebih lengkap dan menyeluruh.

Ia percaya pada janji: pembimbing dari KBIHU akan menyertai sampai ke Makkah dan Madinah. Tapi seperti biasa, janji di tanah air sering kali mencair di panasnya Tanah Suci. Tahun 2025, sistem delapan syarikah resmi berlaku. Satu kloter bisa tercerai di delapan hotel berbeda. Teman saya di Misfalah, pembimbingnya di Syisyah, dua titik yang dipisahkan oleh jarak dan ribuan manusia.

“Itu bukan jalan pagi di taman kota,” ujarnya. “Kadang seperti pasar, kadang seperti banjir.” Maka bimbingan yang dijanjikan tak pernah benar-benar hadir. Sistem besar tak cukup peka terhadap ragam budaya dan kebiasaan Indonesia.

Namun sahabat saya tak gentar. Ia terbiasa memimpin operasi kepolisian di tengah massa. Ia membentuk struktur kecil: ada yang mengurus lansia, memimpin salat, mengatur logistik, dan ia sendiri menjadi komandan lapangan. “Tawaf itu bukan hanya urusan spiritual. Itu juga urusan koordinasi,” katanya. Dalam pusaran mataf yang padat, ia menerapkan formasi: perempuan dan orang tua berada di tengah, dengan instruksi sederhana namun pasti, “Ke kiri! Ke kiri!”

Di situ saya paham, ada yang tak diajarkan dalam buku manasik: tentang bertahan bersama. Kita diajarkan rukun, wajib, larangan—tapi tidak diajarkan cara agar tidak saling kehilangan, atau bagaimana tetap utuh saat satu orang tersesat pintu.

“Keluar dari pintu berbeda lima menit saja, bisa tersesat setengah hari,” katanya. Dan tak ada pelatihan untuk membaca arus manusia atau mendekati askar yang wajahnya setengah marah.

“Haji itu bukan cuma ibadah,” ujarnya. “Itu juga tentang logistik, daya tahan, dan menjaga agar tak saling kehilangan.”

Saya menyesap kopi yang mulai dingin. Tapi malam itu justru menghangatkan kesadaran saya: mungkin selama ini kita terlalu sibuk mencatat apa yang sah dan tidak sah dalam ibadah, hingga lupa bahwa esensi ibadah bisa jadi hanya soal bagaimana membuat orang di sebelah kita merasa tidak sendirian.

Ia berkata: seluruh rombongan selamat, tak ada yang tersesat, tertinggal, atau patah hati. Dan mungkin, di situlah hakikat haji benar-benar ditemukan.

Saya pulang malam itu dengan pemahaman baru: bahwa cinta dan ibadah tak selalu berbentuk ayat atau dzikir. Kadang ia berupa pita kuning, strategi jalan kaki, atau kejelian membaca arah. Kadang pembimbing terbaik bukan yang fasih fiqih, tapi yang tahu kapan harus berhenti, dan kapan harus menoleh ke belakang.

Sebab sebagian ibadah justru tumbuh dari tangan yang menggenggam erat di tengah kerumunan, dari suara pelan yang berkata “ke kiri, ke kiri,” dan dari langkah pelan agar yang renta tak tertinggal. Dan itu, lebih dari apa pun, adalah ziarah paling sunyi—dan paling suci, yang bisa kita lakukan.

Oleh : Syafaat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *