banner 728x250

Calon Tunggal (Petahana) dalam Pilkada, Efisiensi atau Ancaman Demokrasi?

Oleh : Agung Surya Wirawan

Ketua Komunitas Pemerhati Banyuwangi (KPB)

Actanews.id, 28 Juli 2024 –  Fenomena calon tunggal dalam Pilkada (pemilihan kepala daerah) yang biasanya dari Pihak Petahana sering memicu polemik di kalangan masyarakat. Meski konstitusional, situasi ini mengundang pertanyaan mengenai prinsip demokrasi, fungsi partai politik dan mekanisme pemilihan itu sendiri.

Efisiensi dan Stabilitas.

Pilkada dengan satu pasangan calon bisa membuat proses pemilihan lebih efisien. Tanpa kompetisi ketat, dana kampanye bisa diminimalisir, dan sumber daya dapat difokuskan pada perencanaan kebijakan yang lebih matang. Hal ini juga mengurangi ketegangan politik dan sosial, menciptakan stabilitas yang dibutuhkan untuk pembangunan daerah.

Dengan satu calon, masyarakat memiliki kepastian tentang siapa yang akan memimpin. Ini memberikan waktu lebih bagi calon untuk mempersiapkan program-program unggulan tanpa terganggu oleh dinamika kampanye yang intens. Selain itu, kompetisi politik yang sering diwarnai oleh politik uang bisa diminimalisir, sehingga proses pemilihan menjadi lebih bersih dan jujur.

Minimnya Pilihan dan Potensi Otoritarianisme

Namun, demokrasi bertumpu pada prinsip kebebasan memilih. Jika hanya ada satu calon biasanya pihak Petahana, hak pilih masyarakat menjadi terbatas, mengurangi kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan menimbulkan apatisme politik. Situasi ini juga membuka peluang bagi munculnya kepemimpinan otoriter, di mana calon tunggal bisa merasa memiliki kekuasaan absolut dan kurang terdorong untuk mendengarkan aspirasi masyarakat atau melakukan perubahan yang diinginkan rakyat.

Kompetisi dalam Pilkada biasanya memicu ide-ide baru dan inovatif. Dengan hanya satu calon, proses ini dikuatirkan bisa terhenti, mengakibatkan stagnasi dalam perkembangan kebijakan dan program kerja yang ditawarkan kepada masyarakat. Tanpa kompetisi, legitimasi mereka bisa dipertanyakan, yang pada akhirnya mengurangi efektivitas dalam memimpin dan menjalankan pemerintahan.

Tantangan bagi Partai Politik

Calon tunggal sering muncul dari petahana dengan dukungan kuat dari partai politik. Dalam konteks ini, petahana yang didukung lebih banyak partai politik cenderung memiliki peluang lebih besar untuk menjalankan program-programnya tanpa banyak hambatan. Namun, fenomena ini juga menunjukkan kelemahan partai politik dalam menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen politik.

Di Kabupaten Banyuwangi dengan jumlah pemilih yang besar mencapai sekitar 1,3 juta orang, maka jika calon tunggal tetap muncul, ini menunjukkan lemahnya fungsi partai politik sebagai institusi kaderisasi dan rekrutmen politik. Partai politik seharusnya memanfaatkan setiap peluang untuk menunjukkan kehadiran mereka dalam proses kontestasi, sekecil apapun peluangnya.

Kotak Kosong (surat suara kosong) sebagai Ekspresi Ketidakpuasan

Meskipun harus melawan surat suara kosong/kotak kosong, masyarakat tetap memiliki peluang untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka. Pemilih yang tidak setuju dengan calon tunggal atau petahana dapat memilih Surat suara kosong/kotak kosong. Meskipun hampir semua Pilkada dengan kotak kosong dimenangkan oleh calon tunggal dengan rata-rata kemenangan di atas 70%, ada beberapa daerah di Indonesia di mana calon tunggal hampir dikalahkan oleh kotak kosong dengan memperoleh suara 50,5%.

Tantangan bagi calon tunggal adalah memperoleh suara yang legitimasinya kuat. Jika calon tunggal memperoleh suara di bawah dukungan partai politik pengusung, ini menjadi pertanyaan besar tentang legitimasi. Partisipasi masyarakat juga menjadi faktor penting. Masyarakat harus diyakinkan bahwa pilihan mereka tetap berarti, meskipun hanya ada calon tunggal dan kotak kosong.

Dalam situasi Pilkada dengan hanya satu pasangan calon, proses penentuan pemenang diatur ketat oleh Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 54D UU No. 10 Tahun 2016, KPU akan menetapkan pasangan calon sebagai pemenang jika mendapatkan suara lebih dari 50% dari total suara sah. Jika tidak, pemilihan akan diulang pada tahun berikutnya sesuai peraturan perundangan.

Jika kotak kosong menang, jabatan tersebut akan diisi oleh pejabat sementara (PLT) hingga pemilihan ulang dilakukan sesuai peraturan perundangan.

Jadi, fenomena calon tunggal biasanya dari petahana, dalam suatu Pilkada memang memunculkan dilema antara efisiensi dan potensi ancaman terhadap demokrasi. Di satu sisi, proses pemilihan menjadi lebih sederhana dan murah, tetapi di sisi lain, prinsip demokrasi dan kebebasan memilih menjadi terabaikan.

Partai politik perlu melakukan introspeksi agar dapat menjalankan fungsi utamanya dengan lebih baik. Bukan sekadar beramai-ramai mendukung calon tunggal/petahana dan mengklaim kemenangan sebagai hasil kerja mereka. Partai politik seharusnya mampu memberikan masyarakat pilihan calon pemimpin yang lebih kompetitif dan beragam dalam setiap pemilihan kepala daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *