banner 728x250

Kebebasan Pers di Tengah Tantangan Akurasi Informasi,  Dalam Kasus “M” di Banyuwangi

Actanews.id   –  Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999 yang menjamin kebebasan pers memberikan ruang bagi media untuk menjalankan fungsi kontrol sosial yang independen. Namun, kebebasan ini juga menghadirkan tantangan baru terkait tanggung jawab atas akurasi informasi yang disampaikan kepada publik. Media sebagai pilar demokrasi memiliki peran krusial dalam menyampaikan berita yang akurat dan dapat dipercaya. Sayangnya, kadang muncul persoalan dimana informasi yang disampaikan oleh narasumber dan siarkan media justru menimbulkan polemik.

Misalnya Kasus terbaru di Banyuwangi, menyoroti isu ini dengan lebih jelas. Seorang individu warga sipil berinisial M dituduh mengintimidasi tukang parkir berinisial AF dengan menggunakan diduga senjata api, dan kasus ini dilaporkan ke Polresta Banyuwangi. Selang sehari, M menyatakan pada brberapa media online, bahwa bukti CCTV tidak menunjukkan tindakan ancaman seperti yang dilaporkan. M juga menyayangkan pemberitaan yang dibuat tanpa konfirmasi kepadanya, dan dianggapnya bertentangan dengan Undang-Undang Pers No. 40/1999. Namun, adanya kesepakatan damai antara kedua pihak, menarasikan kepada publik dan menunjukkan kemungkinan tindakan intimidasi memang terjadi.

Berdasarkan UU Pers No. 40 Tahun 1999 Pasal 6, media memiliki kewajiban menjaga prinsip akurasi, objektivitas, dan kebenaran. Prinsip ini menegaskan bahwa pers harus berhati-hati dalam mengolah dan menyampaikan informasi, karena masyarakat berhak atas informasi yang akurat, jangan sampai menyesatkan.. Ketika media gagal memenuhi kewajiban ini, maka kredibilitasnya sebagai sumber utama informasi masyarakat dipertaruhkan.

Kendati narasumber memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang benar, media juga memiliki tugas penting dalam melakukan verifikasi atas setiap pernyataan narasumber yang disampaikan. Kegagalan dalam verifikasi dapat berakibat fatal, yaitu menurunkan tingkat kepercayaan publik pada media. Tanpa kepercayaan ini, sulit membayangkan bagaimana pers dapat tetap berfungsi sebagai pengawas independen yang sehat di dalam sistem demokrasi kita.

Efek dari informasi yang tidak akurat tidak hanya merugikan individu atau kelompok tertentu, tetapi juga berpotensi membentuk opini publik yang keliru. Dalam jangka panjang, paparan informasi yang tidak benar akan membuat masyarakat semakin sulit membedakan fakta atau rumor.

Pasal 5 UU Pers No. 40 Tahun 1999 juga menegaskan kewajiban media untuk memberikan koreksi jika terjadi kesalahan dalam pemberitaan. Narasumber pun seharusnya mempertimbangkan aspek moral dan hukum sebelum menyampaikan pernyataan yang berpotensi menyesatkan. Jika terbukti bahwa informasi yang diberikan oleh narasumber tidak benar dan merugikan pihak lain, tidak tertutup kemungkinan yang dirugikan dapat mengajukan gugatan hukum, terkait berita hoax ataupun adanya pelanggatan terhadap UU ITE. Hal ini menegaskan bahwa tanggung jawab akurasi pemberitaan juga pada narasumber.

Kebebasan pers adalah salah satu pilar penting dalam menjaga demokrasi, tetapi kebebasan ini harus disertai tanggung jawab besar dalam memastikan kebenaran informasi. UU Pers No. 40 Tahun 1999 telah memberikan panduan agar semua pihak, baik media maupun narasumber, menjalankan perannya dengan benar. Agar masyarakat terus percaya pada media, semua pihak harus menjaga komitmen pada objektivitas dan integritas demi terciptanya demokrasi yang sehat dan berkeadilan.

Oleh : Joko Tama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *