Banyuwangi, Actanews.id – Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang diadakan di Desa Adat Kemiren, Kecamatan Glagah, pada Rabu Malam (6/11/2024), kembali menjadi magnet bagi ribuan pengunjung dari berbagai daerah. Memasuki tahun ke-11 penyelenggaraannya, acara ini bukan sekadar perayaan kopi, tetapi juga sebuah ajang untuk merayakan budaya, persaudaraan, dan identitas masyarakat Banyuwangi.
Festival tahunan ini bertujuan mempromosikan tradisi minum kopi lokal sembari mengenalkan produk kopi khas Banyuwangi. Beragam hiburan seni tradisional pun memeriahkan acara, termasuk pertunjukan barong Tresno Budoyo, yang menambah pesona festival.
Apresiasi dari Pejabat hingga Masyarakat
Asisten Bidang Sosial dan Perekonomian Banyuwangi, Dwiyanto, memberikan apresiasi atas keberlanjutan festival ini sejak pertama kali digelar pada 2013. “Festival Ngopi Sepuluh Ewu merupakan upaya menggali potensi Desa Kemiren sebagai destinasi wisata berbasis budaya. Ngopi adalah bagian dari keseharian warga Kemiren, dan festival ini telah menjadi atraksi wisata yang menarik minat pengunjung,” ungkap Dwiyanto.
Tradisi Lungguh, Suguh, dan Gupuh yang Mengakar
Suhaimi, sesepuh adat Desa Kemiren, menjelaskan filosofi lungguh, suguh, dan gupuh yang dijunjung oleh warga dalam menyambut tamu. “Kami menyediakan tempat duduk di teras rumah sebagai wujud lungguh, menyajikan kopi serta jajanan tradisional sebagai suguh, dan menyambut tamu dengan keramahan atau gupuh,” katanya. Tradisi ini menjadikan setiap tamu merasa diterima sebagai bagian dari keluarga besar Kemiren.
Kehangatan Sak Corotan Dadi Seduluran
Dengan tema “Sak Corotan Dadi Seduluran” yang berarti “Sekali Corotan Menjadi Persaudaraan Selamanya,” festival yang dimulai sejak pukul 19.00 WIB ini mempererat hubungan antartamu dan warga. Para pengunjung menikmati secangkir kopi cingkir khas Kemiren dalam suasana keakraban yang penuh kehangatan, diiringi musik tradisional yang menambah suasana meriah.
Pemilik Jenneg Homestay, Dariharto, mengungkapkan harapannya agar setiap tamu yang hadir merasa menjadi bagian dari masyarakat Kemiren. “Menyeduh kopi bersama adalah simbol persaudaraan. Kami ingin mereka merasa seperti keluarga dan menjadi saudara seutuhnya,” ujarnya.
Selain menjadi ajang silaturahmi, Festival Ngopi Sepuluh Ewu juga berdampak positif pada ekonomi kreatif di Kemiren. Dariharto menambahkan, “Kehadiran wisatawan membantu memajukan sektor kuliner, kerajinan, seni pertunjukan, hingga penginapan di desa ini.”
Festival Ngopi Sepuluh Ewu tidak hanya mengangkat budaya lokal, tetapi juga memperkuat jalinan persaudaraan di Banyuwangi. Melalui secangkir kopi, desa ini mengajak pengunjungnya merasakan harmoni dan kearifan lokal, menyatukan perbedaan dalam kehangatan yang tak terlupakan. (Triad)