banner 728x250

Simfoni Sastra di Ujung Selatan Banyuwangi: Lentera Sastra Gelar Camp Literasi di Muara Baduk

Pesanggaran, Banyuwangi – Sastra kembali menemukan nadinya di pesisir selatan Banyuwangi. Komunitas Lentera Sastra Banyuwangi menggelar Camp Literasi dan Sastra selama dua hari, 1–2 Agustus 2025, di kawasan Muara Baduk, Kecamatan Pesanggaran. Kegiatan ini menjadi ruang temu antara kata, alam, dan kesadaran literasi, menghadirkan harmoni antara perenungan dan perayaan karya.

Sebanyak 30 peserta turut ambil bagian dalam kegiatan tersebut. Mereka berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari guru madrasah, Aparatur Sipil Negara (ASN), penyuluh agama Islam, hingga pegiat literasi dan seniman lokal. Selama dua hari, mereka mengikuti berbagai rangkaian kegiatan seperti pembacaan puisi, diskusi sastra, penulisan reflektif, hingga prosesi api unggun malam yang menyimbolkan semangat literasi yang tak pernah padam.

Hadir dalam acara tersebut dua pejabat penting dari Kementerian Agama Kabupaten Banyuwangi, yakni Kepala Kantor Kemenag Dr. Chaironi Hidayat dan Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Dimyati. Kehadiran mereka bukan sekadar seremonial, melainkan juga sebagai bentuk dukungan nyata terhadap gerakan literasi yang tumbuh dari akar komunitas.

Salah satu momen berkesan dalam kegiatan ini adalah penyerahan buku karya anggota Lentera Sastra kepada kedua pejabat tersebut. Salah satu buku yang diserahkan berjudul Membangun Madrasah Hebat, sebuah antologi kolaboratif dari para guru madrasah ibtidaiyah yang tergabung dalam Kelompok Kerja Guru Kelas. Buku ini juga memuat tulisan dari para tokoh pendidikan seperti Dr. Chaironi, Dimyati, dan Ketua Lentera Sastra, Syafaat.

“Literasi adalah cahaya, dan sastra adalah denyut halus peradaban,” ujar Dr. Chaironi dalam sambutannya. Ia menekankan pentingnya menghadirkan ruang-ruang sastra di tengah era digital yang cenderung serba instan dan dangkal. Sementara itu, Dimyati menyebut kegiatan ini sebagai bukti bahwa para pendidik madrasah tak hanya mengajar, tetapi juga menulis dan berkarya sebagai bentuk tanggung jawab terhadap zaman.

Dipilihnya Muara Baduk sebagai lokasi kegiatan juga menyimpan pesan simbolik. Kawasan yang tenang dan dikelilingi keindahan alam ini menjadi metafora dari proses kreatif sastra: mengalir dari hati, dan bermuara ke dalam makna. Dalam suasana hening yang penuh keakraban, para peserta berdiskusi tentang sastra lokal, menyanyikan lagu-lagu bertema literasi, serta menulis puisi dan refleksi pribadi.

Api unggun yang menyala di malam hari menjadi pusat dari perayaan batin itu—bukan hanya menghangatkan tubuh, tetapi juga menyulut semangat berkarya. Puisi-puisi tentang cinta, alam, dan pengabdian dibacakan dengan penuh penghayatan, menjadi jembatan antara rasa dan kata.

Komunitas Yayasan Lentera Sastra Banyuwangi berharap kegiatan ini dapat terus bergulir dan menjangkau wilayah-wilayah lain di Banyuwangi. “Sastra bukan hanya milik ruang-ruang akademik. Ia milik semua yang merasa, yang berpikir, dan yang ingin menyampaikan makna,” ujar Syafaat.

Di Muara Baduk, Lentera Sastra tak sekadar berkumpul—mereka menanam cahaya. Dengan kata-kata, mereka merawat ingatan. Dengan puisi, mereka menyulam harapan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *