Banyuwangi, Actanews.id – Hari kedua Lokakarya Penulisan Kreatif Sastra dan Pembuatan Produk Kreatif Berbasis Tradisi Lisan dan Manuskrip yang diselenggarakan oleh Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Banyuwangi menghadirkan sesi daring bertajuk strategi alih wahana tradisi untuk mendukung pariwisata kreatif.
Kegiatan yang berlangsung Kamis (29/5/2025) sejak pukul 08.30 hingga 12.00 WIB ini menghadirkan Dr. Ferry Kurniawan, M.Pd., Wakil Sekjen HISKI sekaligus akademisi yang dikenal aktif dalam riset dan pengembangan industri kreatif berbasis budaya. Bertempat secara virtual melalui Zoom Meeting, sesi ini dimoderatori oleh Sudartomo Macaryus, M.Hum., Ketua HISKI UST-UTY, dan diikuti secara antusias oleh peserta dari berbagai kalangan, mulai dari guru, dosen, mahasiswa, seniman, hingga pelajar.
Dalam paparannya, Dr. Ferry menekankan pentingnya memanfaatkan kekayaan tradisi lisan dan manuskrip Banyuwangi sebagai fondasi pengembangan produk ekonomi kreatif yang relevan dengan perkembangan industri pariwisata. Ia menyebut bahwa pendekatan budaya lokal dapat menjadi nilai unggul sekaligus pembeda dalam ekosistem wisata berkelanjutan.
“Pariwisata yang tangguh tak hanya bertumpu pada alam, tetapi juga pada budaya. Tradisi bisa menjadi pintu masuk utama bagi pengalaman wisata yang autentik dan berkesan,” ujar Ferry.
Ia mengajak peserta untuk tidak hanya melihat tradisi sebagai warisan yang statis, melainkan sebagai sumber inspirasi dinamis yang bisa diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk media kontemporer. Di antaranya film, animasi, aplikasi, pertunjukan seni, hingga produk visual seperti t-shirt dan souvenir.
Menurut Ferry, narasi yang kuat adalah kunci agar produk-produk kreatif tersebut memiliki daya tarik ekonomi dan emosional. Ia mencontohkan bagaimana boneka Gandrung, camilan khas, atau cerita rakyat Banyuwangi bisa dikemas secara naratif untuk menjangkau pasar wisatawan yang lebih luas.
Dalam sesi tersebut, peserta juga mendapatkan wawasan tentang berbagai peluang pendanaan untuk pengembangan produk kreatif. Ferry menjelaskan bahwa pelaku kreatif bisa mengakses dana dari berbagai sumber, seperti hibah pemerintah, investasi swasta, program Kredit Usaha Rakyat (KUR), hingga pendanaan mandiri berbasis kewirausahaan.
“Untuk film dokumenter budaya, misalnya, bisa diakses hingga Rp2,5 miliar. Sementara proyek buku, aplikasi, atau pertunjukan dapat memperoleh dukungan dana antara Rp200 juta hingga Rp300 juta,” ungkapnya.
Diskusi berlangsung dinamis. Sejumlah peserta mengajukan pertanyaan dan berbagi pengalaman dalam mengembangkan karya berbasis budaya. Antusiasme tetap tinggi, menunjukkan besarnya minat terhadap pengembangan model-model ekonomi kreatif berbasis lokal.
Lokakarya ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan HISKI Banyuwangi yang bertujuan mempertemukan akademisi, praktisi, dan komunitas kreatif untuk menjajaki potensi sastra dan budaya sebagai wahana pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Melalui kegiatan ini, HISKI menegaskan bahwa peran kesusastraan tak hanya berada dalam ranah akademik, tetapi juga dalam praktik sosial dan ekonomi yang nyata. Hari kedua lokakarya menandai langkah strategis dalam menjadikan tradisi sebagai modal budaya untuk membangun pariwisata yang berkelanjutan dan berbasis kearifan lokal.