banner 728x250
opini  

Politik Harus Dinamis, Namun Tetap Santun dan Berakhlak

Actanews.id, Banyuwangi, Selasa (28/5/2023) –

“Pilbup masih kurang 5 bulan lagi, 27 November 2024. Suhu politik Banyuwangi mulai panas,” ujarku, membuka pembicaraan pada suatu siang di kantor redaksi kami. Saya, Mas Agung, dan beberapa rekan wartawan media lain sedang membincangkan hal menarik, soal pilbup Banyuwangi.

“Yang perlu diingat, politik itu sangat dinamis. Tidak ada hitam di atas putih, jadi perubahan adalah hal yang biasa. Ketika awalnya bersama, namun kemudian tidak sejalan, masyarakat harus memahami agar tidak terjadi kegaduhan. Semua orang berhak berpendapat, tetapi harus hati-hati, sesuai fakta dan objektif,” tutur Mas Agung, menyandarkan tubuhnya di kursi dengan santai.

“Piye menurutmu, Bro?” tanyaku kepada seorang rekan.

“Sekarang muncul kalimat ‘barisan sakit hati’, ‘alumni birokrasi’, dan tuduhan komentar tidak sehat, seakan mendeskripsikan sikap negatif bagi pihak yang lakukan kritik pada pemerintah atau incumbent. Itu termasuk politik yang tidak sehat dan tidak berakhlak lho!” jawab rekan, menggelengkan kepalanya dengan kesal.

“Dasarnya… politik dalam kehidupan bangsa dan negara adalah salah satu aspek ajaran Islam, urusan keduniawian yang harus selalu dijalani sesuai nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Diperlukan sikap dan moral positif untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara,” timpal saya ketus, mencoba menenangkan suasana yang mulai memanas.

“Tentu saja nilai luhur agama yang saya maksud diantaranya adalah amanah, menegakkan hukum, dan berkeadilan,” tandas saya, menambahkan dengan tegas.

Sobat pembaca, sedikit saya ingin sampaikan bahwa soal politik ini, sebagai wartawan, kami menyadari punya peran dan tanggung jawab dalam membantu menciptakan suasana yang positif dan kondusif di Banyuwangi. Mungkin sama dengan harapan banyak orang lainnya, politik harus menjadi alat perlindungan bagi kaum miskin dan kelompok lemah, serta sarana menegakkan kebenaran dan keadilan.

Kalangan politisi, aktivis, hingga tokoh masyarakat perlu menjaga persatuan dan kesatuan dalam menjalani proses pemilu. Pemilu bukanlah ajang untuk menimbulkan konflik atau memecah belah masyarakat, melainkan sebagai momentum untuk menunjukkan kedewasaan politik dan memilih pemimpin yang mampu membawa kemajuan bagi daerah Banyuwangi.

Maka, menahan diri dari menyebarkan narasi yang bersifat provokatif atau memecah belah adalah tindakan yang baik dan berakhlak. Bagi calon pemimpin, kepercayaan publik perlu dibangun secara santun, berakhlak, dan dengan keteladanan yang mengabdi tanpa korupsi, serta menyadari bahwa kekuasaan berasal dari rakyat.

“Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai Bupati dan Wakil Bupati dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”

Semoga teks sumpah jabatan di atas menjadi pengingat dan landasan moral spiritual perjanjian dengan Tuhan dan rakyat, menandai transformasi pemimpin, dari seorang individu menjadi sosok publik yang bebas dari kepentingan pribadi. Sumpah ini mengikat pejabat untuk melayani bukan demi kepentingan pribadi, melainkan demi kepentingan umum. Dan komitmen pada sumpah jabatan hendaknya terbawa di mana pun berada.

Semoga ke depan, kita bisa menyaksikan dan menjalankan politik yang lebih sehat, santun, dan berakhlak, di Banyuwangi yang kita cintai.

Oleh : Joko Tama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *