banner 728x250
opini  

Polemik Kenaikan PBB Banyuwangi, Antara Kepastian Hukum dan Posko Rakyat

Oleh : Joko Wiyono

Isu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Banyuwangi sempat memantik polemik beberapa pekan terakhir. Kabar adanya potensi kenaikan pajak PBB-P2 hingga 200 persen menimbulkan keresahan publik, terlebih ketika kondisi ekonomi masyarakat belum sepenuhnya pulih.

Hal ini bermula dari arahan Kementerian Dalam Negeri melalui surat edaran yang mendorong penyederhanaan penerapan tarif tunggal (single tarif) sebesar 0,3 persen. Padahal, Perda Banyuwangi Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pada Pasal 9 ayat (1) telah mengatur skema multi-tarif: 0,1 persen untuk NJOP hingga Rp.1 miliar, 0,2 persen untuk NJOP Rp.1–5 miliar, dan 0,3 persen untuk NJOP di atas Rp.5 miliar.

Maka, untuk menyelaraskan,  ditetapkan perubahan Perda 1/2024 tersebut,  khususnya pasal 9 ayat 1 diubah berbunyi, besarnya tarif PBB P2 sebesar 0,3 persen.(tidak tertulis secara eksplisit : secara flat/tarif tunggal)

Perubahan pasal inilah yang menimbulkan tafsir berbeda. Pemerintah daerah menyebut tidak ada kenaikan, diatur dengan berbagai skema,   diantaranya pemberian stimulus penguramgan pajak hingga 40 persen, serta sesuai UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), Pemda Banyuwangi punya kewenangan untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas maksimal  san tidak memberatkan rakyat,  sesuai diatur  undang-undang,  melalui Perbup.

Sementara sebagian masyarakat tetap meyakini ada potensi beban tambahan naik 200 persen, karena tafsir tarif tunggal. Ambiguitas perubahan pasal.9 ayat 1 ini, kemudian memantik gerakan masyarakat sipil dengan  melakukan aksi demo dan orasi berhari-hari, mendirikan “posko rakyat” di depan Kantor Pemda Banyuwangi, sebagai bentuk protes menentang kenaikan pajak dan kontrol sosial.

Akhirnya, DPRD Banyuwangi bersama Pemkab memastikan bahwa tidak ada kenaikan tarif PBB-P2. Ketua Pansus Raperda, Muh. Ali Mahrus, menegaskan telah berkonsultasi ddan evaluasi dengan pihak Kemenndagri. Hasil dengan Kemendagri, menyepakati penerapan tarif sesuai skema sebelumnya (multi tarif, 0,1 hingga 0,3 sesuai klaster), bukan secara flat. Komitmen itu bahkan dituangkan dalam Berita Acara Hasil Konsultasi di Jakarta, pada tanggal 19 Agustus 2025.

Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Banyuwangi, M.Y. Bramuda, menegaskan bahwa sinergi legislatif–eksekutif menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Dengan kata lain, Perda tetap berjalan, namun tanpa ada kenaikan pajak.

Meski keputusan ini menenangkan, satu hal penting tidak boleh terlewat: peran masyarakat. Polemik ini lahir bukan semata dari dinamika birokrasi, tetapi karena keberanian rakyat untuk bersuara. Posko rakyat telah berfungsi sebagai “penyeimbang” yang memastikan suara publik masuk ke meja pengambil kebijakan.

Kontrol sosial semacam ini adalah esensi demokrasi. Tanpa desakan publik, bisa saja kenaikan tetap dilanjutkan dengan alasan teknokratis seperti “keniscayaan fiskal” atau “penyesuaian inflasi.”

Keputusan tidak menaikkan pajak PBB-P2 di Banyuwangi memang patut diapresiasi, namun jangan berhenti di sini. Ada dua pekerjaan rumah besar:

-Mewujudkan kebijakan pajak yang adil dan transparan. Perlu dirumuskan formula pajak yang benar-benar mempertimbangkan daya rakyat kecil, bukan sekadar memenuhi target pendapatan daerah.

-Membangun komunikasi publik yang terbuka. Sosialisasi dan forum konsultasi harus menjadi budaya, agar rakyat tidak selalu menjadi pihak yang “kaget” setiap kali ada perubahan kebijakan.  Bahkan menyangkut kenaikan NJOPpun, Pemda Banyuwangi harus punya dasar kewilayahan dan penafsiran yang tepat, diantaranya dengan pertimbangan Perda Banyuwangi Nomor 2 Tahun 2024, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2024-2044

Kasus PBB Banyuwangi memberi pelajaran bahwa kebijakan publik terbaik lahir dari kombinasi tiga unsur: pemerintah yang responsif, legislatif yang kritis, dan masyarakat yang berani bersuara. Jika masih ada Posko rakyat yang masih bertahan pasca-keputusan  untuk mengawal kepastian hukumnya, sepatutnya dipandang wajar, selama tetap patuh hukum, menjaga ketertiban dan stabilitas di masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *