banner 728x250
Sastra  

Lontar Yusuf dan Sunyi yang Memanggil Pulang

Oleh : Syafaat

Malam itu saya tertidur selepas Maghrib. Tapi tidakkah kita semua sedang tertidur dalam hidup ini?
Kita membuka mata, namun batin kita terpejam.
Kita berjalan, namun hati kita tertinggal.
Saya tidur, bukan karena lelah. Tapi karena lupa kalau saya sedang hidup.
Dan bukankah itu bentuk kematian yang paling halus?

Ketika saya terbangun, dunia seperti baru saja lahir kembali. Tapi anehnya, yang terasa lahir bukan dunia—melainkan kesadaran bahwa usia telah mengurai saya seperti benang yang melolos dari gulungannya. Hari lahir, kata mereka. Tapi siapa yang sungguh-sungguh lahir dalam hari lahirnya?
Yang benar-benar lahir, bukan tubuh. Tapi kesunyian. Yang mendalam. Yang memanggil.

Di Rumah Budaya Osing, saya duduk. Tapi sesungguhnya, saya sedang bersujud.
Di depan saya bukan sekadar lontar.
Ia adalah dada yang terbuka, lembar-lembar yang menampung napas para pendahulu.
Saya melihat huruf Pegon, tapi yang saya baca adalah luka dan cinta yang dikirim dari zaman ke zaman.
Cinta tidak butuh huruf,
tapi huruf bisa menjadi jembatan cinta—bila kita membacanya dengan jiwa.

Kang Pur membuka lembarannya.
Pelan.
Penuh takzim.
Bukan seperti orang membaca teks. Tapi seperti seseorang yang mengangkat anak yang baru lahir: dengan rasa takut menjatuhkan, dan rasa syukur tak terucapkan.
Dan bukankah setiap naskah kuno adalah bayi yang harus disambut dengan cinta?

Tiga orang asing duduk bersama kami. Mereka datang dari dunia yang jauh. Tapi malam itu, mereka lebih dekat kepada warisan kami ketimbang kami sendiri.
Mereka mengeja seperti anak kecil belajar bicara.
Dan justru karena itu, mereka terdengar jujur.
Kita yang lahir di tanah ini, sering merasa sudah cukup tahu. Tapi lupa bahwa pengetahuan tanpa cinta hanyalah debu yang berisik di kepala.

Tembang dilantunkan malam itu. Nada lirih. Tembang Jawa tua yang mengandung urutan hidup manusia.
Dari Maskumambang hingga Pocung.
Dari rahim hingga liang lahat.
Saya mendengarkan, tapi seolah saya sedang melihat wajah saya sendiri—yang perlahan hilang di balik cermin waktu.
Apakah kita sedang hidup, atau sedang menuju kehilangan demi kehilangan yang kita beri nama usia?

Saya jadi teringat masa saya sebagai santri.
Bukan masa yang panjang, tapi cukup untuk meninggalkan bekas.
Saya pernah membaca kitab kuning.
Saya pernah merasa bisa.
Tapi malam itu, saya merasa asing di tanah sendiri.
Dan bukankah tanah air bukanlah soal tempat lahir, tapi soal tempat jiwa kembali?

Hasan Basri datang malam itu. Membawa kitab lebih besar dari milik saya.
Saya tahu, kitab itu bukan untuk dibaca sekadar tahu.
Tapi untuk dirawat.
Dan merawat, seperti mencintai:
ia butuh kesabaran.
Butuh kehadiran.
Butuh melupakan diri agar yang dirawat bisa tumbuh.

Dan saya malu, karena Kang Hasan, Kang Pur, Kang Iwan, Mbak Upik, bahkan orang-orang asing itu—semua hadir dengan jiwanya.
Sementara saya, masih sibuk berdamai dengan tidur saya yang keliru.
Masih belum selesai dengan diri saya sendiri.

Apa yang dibacakan malam itu bukan hanya kisah Nabi Yusuf.
Tapi gema dari sumur yang dalam:
tempat di mana Yusuf dilempar.
Tempat di mana cinta diuji tanpa terlihat.
Tempat di mana manusia tidak tahu lagi harus percaya pada siapa, kecuali kepada bisikan sunyi.

Dan saya rasa, setiap manusia adalah Yusuf yang sedang mencari jalannya keluar dari sumur.
Tapi kita sering terlalu sibuk berlari menuju istana,
tanpa pernah bertanya,
apakah istana itu memang tujuan,
atau hanya persinggahan?

Saya tak tahu siapa membawa saya ke ruangan itu.
Mungkin bukan manusia.
Mungkin doa ibu saya.
Mungkin kerinduan masa kecil saya.
Atau mungkin, itu hanya panggilan dari sunyi yang terlalu lama saya abaikan.

Malam itu, tak ada kue ulang tahun. Tak ada lilin. Tak ada tepuk tangan.
Tapi ada keheningan yang seperti jubah cahaya:
menyelimuti jiwa saya yang telanjang.

Menjadi tua bukan tentang angka.
Tapi tentang menerima bahwa setiap luka yang kita miliki adalah pintu menuju cahaya.
Dan cahaya, seperti cinta, tidak pernah keras kepala.
Ia hanya menunggu.
Diam.
Setia.

Saya ingin berkata bahwa malam itu saya belajar sesuatu. Tapi kebenaran spiritual tidak bisa dipelajari. Ia hanya bisa dialami.
Seperti kita mencintai seseorang bukan karena tahu namanya,
tapi karena hatinya menggugah bagian dalam diri kita yang tak pernah bisa dijelaskan.

Tiga orang asing itu datang dan pergi.
Tapi saya yakin mereka membawa pulang sesuatu yang tak bisa dibungkus dalam koper.
Sesuatu yang tak akan disita di bandara.
Sesuatu yang akan tumbuh diam-diam di hati mereka—dan mungkin akan berbunga di malam yang tak terduga.

Dan kita?
Apakah kita sudah pulang ke diri kita sendiri?
Apakah kita sudah membaca Pegon yang terukir di hati kita sendiri?
Ataukah kita masih tersesat di layar-layar ponsel yang tak pernah selesai?

Malam itu ditutup dengan kopi.
Tapi saya rasa, yang menyeduh kopi adalah langit.
Dan yang meneguknya, adalah bagian diri saya yang selama ini tertidur.
Kopi itu pahit, tapi pahitnya seperti puisi yang tidak selesai ditulis.
Ada keindahan yang tak bisa dijelaskan,
seperti cinta yang tak sempat diucap.

Lontar Yusuf tak membuat saya lebih bijak.
Ia membuat saya lebih hening.
Dan hening, bila disentuh dengan cinta,
adalah bentuk tertinggi dari pengertian.

Di usia yang bertambah, saya tak ingin menjadi tua.
Saya hanya ingin menjadi pulang.

Karena pada akhirnya,
kita semua akan kembali.
Entah dengan doa.
Entah dengan airmata.
Entah dengan Pegon yang kita bisikkan kepada malam.
Dan semoga, saat waktu memanggil,
ada satu suara yang menyambut kita dengan lembut:

“Selamat datang, Kekasih. Kau telah pulang. Akhirnya.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *