BANYUWANGI, Actanews.id — Proyek plengsengan yang dikerjakan Dinas Pengairan Kabupaten Banyuwangi di kawasan Perumahan Griya Permata Husada (GPH), Kelurahan Pengantigan, menjadi perhatian publik setelah ditemukan kerusakan parah pada struktur bangunan tersebut. Bahkan seorang warga menyebut bahwa pondasi plengsengan hanya menggunakan tanah liat, bukan material konstruksi standar sebagaimana mestinya.
Temuan ini memunculkan dugaan serius tentang praktik pembiaran, penyimpangan teknis, hingga potensi korupsi dalam pelaksanaan proyek yang dibangun pada tahun 2022 itu.
“Ini bukan sekadar keteledoran teknis. Ini adalah pengkhianatan terhadap akal sehat dan tanggung jawab publik. Negara telah gagal melindungi warganya dari proyek abal-abal yang mengancam keselamatan,” kata Herman Sjahthi, M.Pd., M.Th., CBC, seorang akademisi dan aktivis, Senin (9/6/2025).
Akibat kerusakan tersebut, warga GPH terpaksa bergotong royong memperbaiki plengsengan secara swadaya. Herman pun menilai hal ini sebagai ironi besar dalam tata kelola negara. “Uang rakyat dipakai, proyeknya amburadul, warganya disuruh gotong royong. Di mana negara?” kritiknya.
Herman menyebut kejadian ini sebagai alarm keras atas lemahnya pengawasan dan buruknya seleksi penyedia jasa konstruksi. Ia menegaskan bahwa proyek infrastruktur yang mestinya melindungi masyarakat justru berpotensi membahayakan.
“Memberikan proyek kepada CV yang tidak punya kompetensi sama saja dengan menyerahkan nyawa masyarakat ke tangan spekulan,” tambahnya.
Selain itu, Herman menyoroti fungsi pengawasan yang dinilainya hanya menjadi formalitas. Dinas teknis, termasuk Dinas Pengairan, dianggap tidak menjalankan fungsi pengawalan kualitas secara maksimal. Ia mendesak evaluasi menyeluruh atas sistem pengadaan barang dan jasa, termasuk reformasi pola lelang dan seleksi penyedia.
“Ketika kontraktor bisa main mata, pengawas tutup mata, dan pemerintah daerah membisu, maka itu bukan sekadar kegagalan administrasi. Itu pengabaian terhadap amanah konstitusi,” ujarnya.
Ia juga mendorong agar pengawasan terhadap proyek infrastruktur dilakukan secara berlapis, mulai dari audit teknis, pelibatan masyarakat, hingga digitalisasi anggaran agar publik bisa mengakses informasi proyek secara transparan.
Menurut Herman, kasus ini tidak bisa dianggap insiden kecil. Ia menilai hal ini sebagai gambaran suram tata kelola proyek infrastruktur di Banyuwangi.
“Jika pemkab masih memiliki sedikit rasa malu, maka kasus ini harus dijadikan titik balik untuk membersihkan sistem dari aktor-aktor busuk yang bermain dalam proyek rakyat,” tegasnya.
Herman pun menutup pernyataannya dengan kritik yang menggugah:
“Pondasi dari tanah liat adalah metafora dari birokrasi kita hari ini rapuh, murah, dan mudah roboh. Banyuwangi butuh bangunan yang kuat, bukan hanya secara fisik, tapi juga moral para pejabatnya.”
Sementara pihak DPU Pengairan Kabupaten Banyuwangi belum memberikan tanggapan resmi terkait kasus ini. (Tim)