banner 728x250
Hukum  

Kebijakan Parkir dan Ngerest di Desa Pringwulung Menuai Pro Kontra, Diduga Mengarah ke Pungli

SERANG, Actanews.id – Kebijakan Pemerintah Desa Pringwulung, Kecamatan Bandung, Kabupaten Serang terkait pengelolaan parkir dan aktivitas “ngerest” (pengepul limbah besi) di area PT Shiwon Steel Indonesia menuai pro dan kontra di tengah masyarakat. Pasalnya, keputusan tersebut tertuang dalam berita acara resmi yang ditandatangani Kepala Desa dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD), namun dinilai sebagian warga berpotensi menjadi praktik pungutan liar (pungli).

Dalam dokumen berita acara tertanggal 8 Maret 2025 yang diterima redaksi, pengelolaan parkir dan ngerest akan dijalankan secara bergilir oleh organisasi pemerintah desa, pemuda, dan perwakilan dari setiap kampung di Desa Pringwulung. Petugas yang berjaga mulai pukul 08.00 hingga 24.00 WIB diwajibkan menyetorkan Rp50.000 setiap akhir bulan ke kas Karang Taruna.

Kebijakan ini disahkan oleh Kepala Desa Pringwulung, Sana, dan Ketua BPD, Bambang Hariyanto, serta disetujui oleh LPM, Karang Taruna, dan perwakilan RT/RW. Namun, keabsahan serta motif pengelolaan tersebut mulai dipertanyakan publik, terutama karena peran BPD yang seharusnya menjadi pengawas kebijakan desa justru ikut dalam penandatanganan dan pembuatan keputusan.

“Ini BPD malah ikut-ikutan membuat kesepakatan. Seharusnya mereka mengawasi jalannya pemerintahan desa, bukan malah terlibat aktif dalam kebijakan yang berpotensi jadi pungli. Aneh,” ujar salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Saat dikonfirmasi, Kepala Desa Sana membenarkan bahwa surat tersebut dikeluarkan oleh pihaknya. Ia berdalih bahwa kebijakan ini lahir dari musyawarah untuk mencegah konflik antar pemuda desa terkait pengelolaan parkir dan ngerest.

“Betul, itu hasil kesepakatan dengan organisasi desa dan pemuda. Tujuannya agar tidak ada perebutan wewenang. Tapi perlu ditekankan, fokus kami bukan pada parkir, melainkan aktivitas ngerest,” jelasnya melalui sambungan WhatsApp pada Rabu (14/5/2025).

Namun demikian, regulasi pungutan terhadap aktivitas seperti parkir dan pemungutan sisa limbah di wilayah perusahaan seharusnya tunduk pada peraturan daerah dan izin resmi, bukan berdasarkan musyawarah internal desa semata. Jika tidak, hal ini berpotensi dikategorikan sebagai pungli, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 KUHP dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Apalagi, Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa kesempatan terakhir menegaskan agar TNI, Polri, dan Kejaksaan Agung menindak tegas segala bentuk premanisme dan pungutan liar yang merugikan iklim investasi, terlebih yang berkedok organisasi masyarakat (ormas).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *