banner 728x250
opini  

Sanksi Sekolah bagi Siswa yang Melanggar Norma: Antara Hak, Kewajiban, dan Proporsionalitas Hukuman

Kejadian pelajar salah satu SMA favorit di Kabupaten Banyuwangi yang dikeluarkan dari sekolah akibat ketahuan mengonsumsi alkohol dan memesan wanita “penghibur” saat studi tour menimbulkan polemik mengenai batasan kewenangan sekolah dalam memberikan sanksi serta hak siswa dalam memperoleh pendidikan.

Dalam sistem pendidikan nasional, sekolah memiliki kewajiban untuk mendidik, mengawasi, serta menanamkan nilai moral dan disiplin kepada peserta didik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, dan bertanggung jawab.

Namun, dalam menjalankan kewajibannya, sekolah juga memiliki hak untuk menegakkan tata tertib guna menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif. Ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang juga mengatur ketertiban serta mekanisme pemberian sanksi bagi siswa yang melanggar aturan sekolah.

Di sisi lain, siswa memiliki hak untuk memperoleh pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Hak ini juga diperjelas dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam pasalnya  juga  menyatakan bahwa setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pengajaran untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat dan bakatnya.

Keputusan sekolah untuk mengeluarkan siswa perlu diuji dengan prinsip proporsionalitas. Dalam Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015, hukuman terhadap pelanggaran harus dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan aspek pembinaan. Sanksi yang terlalu berat, seperti pemecatan (mengeluarkan) tanpa alternatif pendidikan lanjutan, dapat bertentangan dengan prinsip hak anak untuk tetap mendapatkan pendidikan.

Belum lagi, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 110/PUU-X/2012, hak atas pendidikan adalah hak konstitusional yang tidak boleh dicabut tanpa alasan yang sangat kuat dan harus mempertimbangkan aspek pembinaan, bukan sekadar pemberian hukuman.

Dalam konteks ini, sekolah harus mempertimbangkan apakah sanksi yang diberikan sudah sesuai dengan prinsip edukatif. Jika siswa dikeluarkan tanpa diberikan solusi pendidikan lanjutan, maka keputusan tersebut berpotensi melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan.

Alih-alih langsung mengeluarkan siswa, sekolah bisa menerapkan sanksi yang lebih bersifat mendidik, seperti konseling intensif, pelibatan orang tua, atau  wajib mengikuti kegiatan religius dan sosial sebagai bentuk tanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan.

Atauapun, jika tindakan siswa sudah masuk dalam kategori berat, sekolah dapat bekerja sama dengan lembaga/bidang pembinaan remaja untuk memberikan pendidikan tambahan tentang bahaya alkohol dan perilaku menyimpang.

Dan yang tak kalah penting, lembaga yang bergerak di bidang pendidikan maupun perlindungan anak harus segera melakukan penelusuran mendalam serta memberikan kajian komprehensif  sekaligus merumuskan untuk solusi yang paling tepat, dan tidak terus menjadi polemik

Sekali lagi, meski sekolah memiliki hak untuk menegakkan disiplin, tetapi juga memiliki kewajiban untuk memastikan hak pendidikan siswa tetap terpenuhi.  Oleh karena itu, langkah terbaik adalah menerapkan sanksi yang lebih proporsional, berbasis pembinaan, dan tetap menjamin hak pendidikan siswa sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Oleh : Joko Wiyono, SH – Komunitas Pemerhati Banyuwangi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *