Actanews.id — Aktivitas tambang ilegal di Cangkring, Desa Pengatigan, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi, jadi sorotan publik. Meskipun operasi tambang ini berdampak besar pada lingkungan dan infrastruktur, penegakan hukum terhadap tambang tanpa izin ini masih lemah. Komunitas Pemerhati Banyuwangi (KPB) menyatakan kekecewaannya terhadap lambannya respons aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah daerah.
Hampir setiap hari, puluhan truk lalu-lalang mengangkut hasil tambang dari galian yang kedalamannya bisa mencapai 10 meter lebih. “Ini eksploitasi berlebihan yang mengancam kelestarian lingkungan,” ujar Agung, ketua KPB yang .berkantor di Rogojampi, Selasa (29/10/2024). Menurutnya, selain merusak alam, aktivitas ini juga mengakibatkan kerusakan pada jalan, yang belum ada perbaikan sejak lama.
Agung juga mengkritik lemahnya penegakan hukum. “APH harus bertindak tegas, bukan malah memberikan celah. Pembiaran ini bisa menurunkan kepercayaan publik dan menciptakan preseden buruk dalam penegakan hukum,” tegasnya.
Di sisi hukum, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Mineral dan Batubara telah jelas mengatur sanksi bagi pelaku tambang ilegal. Pasal 158 menyebutkan bahwa siapa pun yang melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin dapat dipidana hingga 5 tahun dan dikenai denda maksimal Rp100 miliar. Namun, meski regulasi sudah ada, tindakan nyata terhadap aktivitas ilegal ini belum tampak.
Komunitas Pemerhati Banyuwangi mendesak APH dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi segera bertindak menerribkan dan menutup aktivitas tambang ilegal tersebut. “Penegakan hukum yang tegas harus dilakukan sebelum kerusakan lingkungan semakin parah,” pungkas Agung.