banner 728x250
opini  

Nasib, Takdir dan Keadilan di Dunia

Actanews.id – Dalam percaturan politik yang semakin memanas menjelang Pilkada Banyuwangi, obrolan mengenai siapa yang akan terpilih, alasan di balik kemenangan mereka nantinya, dan berbagai spekulasi lainnya kerap menjadi topik utama obrolan di warung kopi. Salah satunya di Warung “Mbak Sri”, sebuah tempat legendaris di kota Banyuwangi ini, menjadi saksi bagi banyak percakapan dari berbagai profesi, diantaranya para wartawan dan penulis, termasuk saya bersama beberapa teman.

Namun, suatu siang yang panas itu, obrolan kami beralih ke topik yang lebih filosofis, yakni soal nasib, takdir, dan keadilan. Semua berawal dari Maulana, seorang penulis berbakat yang karyanya telah menghiasi berbagai percetakan nasional. Dengan setengah tertawa, ia melemparkan pertanyaan klasik, “ada yang bilang dunia ini tidak adil? Ada yang bekerja keras tapi hidupnya begitu-begitu saja, sementara yang hanya duduk tanda tangan bisa kaya. Nasib atau takdir bisa diubah, nggak ya?”

Fitron, yang hobinya lebih suka membahas dan menulis berita opini (feature), kali ini menjawab dengan nada serius, “Belum tentu, bro. Lihat saja, kita kadang buat beli rokok saja susah. Tapi tetangga saya, buruh kasar yang penghasilannya nggak jelas, bisa merokok tiap hari dan anaknya lulus kuliah.”

Jawaban Fitron membuat kami merenung sejenak. Saya pun mencoba menanggapi, “Kalau soal adil atau nggaknya, itu tergantung perspektif masing-masing individu, jadi relatif mas. Kalau kita yang beragama Islam, tentu kita punya prinsip bahwa apa yang dikehendaki Allah itu pasti adil.”

Namun, apakah benar demikian? Apakah keadilan di dunia ini hanya soal perspektif? Dan apakah nasib serta takdir bisa diubah? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya sering muncul di benak banyak orang, bukan hanya wartawan yang gemar berbincang di warung kopi dan keseringan berkhayal jadi kaya. Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian dari kita merasa bahwa dunia ini memang tidak adil, bahwa nasib baik dan buruk datang tanpa perhitungan yang jelas.

Tetapi, jika kita kembali pada prinsip dan  keyakinan agama, mungkin kita bisa melihat bahwa keadilan bukanlah soal mendapatkan apa yang kita inginkan, melainkan menerima apa yang telah ditentukan untuk kita.

Obrolan kali ini akhirnya tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti. Seperti biasa, kami berakhir dengan tertawa dan bersepakat bahwa hidup ini, pada akhirnya, adalah kombinasi antara usaha, takdir, dan mungkin sedikit keberuntungan. Siapa yang tahu? Mungkin saja takdir kita sebenarnya adalah hati ini duduk di warung kopi, berdiskusi tentang nasib dan keadilan, sambil menikmati secangkir kopi.

Namun boleh kita ambil pendapat, dari yang saya nilai cukup keilmuan, dan mudah dipahamii..  ya karena saya seorang jawara (turunan suku Jawa dan madura), tentu pendapat cak Nun yang perlu saya tampilkan disini.

Darii Emha Ainun Nadjib Official Website, menuliskan
Perspektif Mbah Nun soal ini  bahwa, “posisi takdir sebetulnya merupakan negosiasi takdir manusia dengan takdir Allah. Sehingga takdir itu tiada lain adalah kerja sama diplomatis manusia dengan Allah.” Artinya, dalam takdir termuat cara-cara, fase, proses, step, langkah, dan upaya-upaya yang ditempuh oleh manusia.

Apakah manusia bisa mengubah takdir? Wallahu a’lam. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah berusaha memproses dan menjemput takdir (tujuan manusia). Sebab usaha (berupa tindakan, pilihan rasional, doa yang dipanjatkan) itu sendiri bagian dari takdir.

Selama takdir kehidupan belum rampung, jangan ada kata menyerah. Terus berusahalah meraih tujuan. Pesan Mas Sabrang, “tujuan itu fanatik, tapi strategi fleksibel.”

Wa quli’maluu fa sayarollohu ‘amalakum wa rosuuluhuu wal-mu-minuun, wa saturodduuna ilaa ‘aalimil-ghoibi wasy-syahaadati fa yunabbi-ukum bimaa kuntum ta’maluun.

“Dan katakanlah, Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105).

Oleh : Joko Tama

Banyuwangi, 4 September 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *