Penulis : Agung Suryawirawan
Ketua Komunitas Pemerhati Banyuwangi (KPB)
Actanews.id – Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 di Banyuwangi kembali menjadi sorotan publik. Seharusnya menjadi ajang seleksi yang adil dan transparan, proses ini justru diduga masih kerap diwarnai dengan berbagai kecurangan. Sebuah ironi dalam dunia pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi integritas dan kejujuran.
Kepala Dinas Pendidikan Banyuwangi harus segera mengambil tindakan tegas dalam memantau dan memperketat pelaksanaan PPDB 2024. Praktik-praktik tidak sehat yang sudah tidak lagi menjadi rahasia umum harus segera dihentikan. Fenomena seperti orang tua yang rela memindahkan alamat rumah demi mengejar zonasi sekolah favorit mencerminkan betapa kuatnya keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri yang dianggap unggulan. Namun, langkah ini juga menyoroti ketidakseimbangan kualitas pendidikan di berbagai sekolah.
Sistem zonasi, yang dimaksudkan untuk pemerataan pendidikan, malah kerap disalahgunakan. Setiap tahun, selalu ada korban dari sistem PPDB ini. Orang tua yang tidak memiliki koneksi atau tidak mampu memberikan ‘uang pelicin’ kepada oknum sering kali harus rela anaknya tidak diterima di sekolah yang diinginkan. Sementara itu, oknum pelaku penitipan siswa, yang biasanya adalah orang-orang dengan jabatan dan berpengaruh, menikmati hasil dari kecurangan ini.
Masalah ini bukanlah fenomena baru. Sudah banyak kasus di mana pihak sekolah terjerat masalah karena terlibat dalam kecurangan PPDB. Ironisnya, seringkali yang disalahkan adalah sistemnya, padahal pelaku utama kecurangan ini adalah oknum-oknum yang memiliki kuasa dan jabatan, baik oknum di ingkup pendidikan maupun pihak luar.
Mereka memanfaatkan kebijakan yang ada untuk kepentingan pribadi, sehingga tidak heran jika istilah ‘uang pelicin’ menjadi biasa dalam konteks PPDB.
Bagi pihak sekolah, kondisi ini juga tidak menguntungkan. Mereka kewalahan dengan membanjirnya siswa titipan, yang mengakibatkan kapasitas sekolah menjadi tidak memadai. Sistem PPDB yang seharusnya berjalan dengan prinsip kejujuran dan integritas, kini terancam oleh kolaborasi gelap antara oknum pejabat dan oknum pihak sekolah.
Yang lebih menyedihkan adalah dampak dari praktik-praktik ini terhadap esensi pendidikan. Nilai-nilai seperti kejujuran dan integritas menjadi tidak berdaya menghadapi mereka yang berkuasa. Ungkapan ‘Wani Piro?’ menjadi simbol dari betapa tergerusnya moralitas dalam sistem pendidikan kita.
Ketidakseimbangan antara jumlah sekolah negeri di berbagai jenjang pendidikan, seperti SD, SMP, dan SMA, semakin memperburuk keadaan. Pemerintah seolah memaksakan sistem zonasi tanpa kesiapan yang cukup. Infrastruktur pendidikan yang tidak merata hanya memperparah masalah ini. Pemerintah harus lebih serius dalam menyiapkan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, serta menindak tegas oknum-oknum yang menyalahgunakan kebijakan.
Penyelesaian masalah PPDB bukan hanya tanggung jawab satu pihak. Semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan harus bekerja sama untuk menciptakan sistem yang adil dan transparan.
Hanya dengan komitmen yang kuat dari semua pihak, kita bisa berharap dunia pendidikan kita bisa maju dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik. Tidak ada lagi praktik-praktik curang, tidak ada lagi ‘uang pelicin’, dan yang terpenting, tidak ada lagi siswa yang harus menjadi korban dari sistem yang tidak adil.