banner 728x250

Ritual Pencak Sumping, Warisan Budaya yang Tetap Hidup di Banyuwangi Setiap Idul Adha

Actanews.id – Pada setiap perayaan Idul Adha, tepatnya pada 10 Dzulhijjah, Dusun Mondoluko di Desa Taman Suruh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, menggelar sebuah tradisi yang begitu khas dan telah berlangsung selama ratusan tahun, yakni Pencak Sumping. Tahun ini, ritual adat yang unik ini jatuh pada Senin (17/6/2024), dan kembali menghidupkan semangat kebudayaan dan silaturahmi masyarakat Osing.

Pencak Sumping bukan sekadar pagelaran seni bela diri biasa. Ini adalah bagian dari ritual bersih desa yang dilakukan secara turun-temurun oleh masyarakat Osing di lereng Gunung Ijen. Sejak era kolonial Belanda, tradisi ini telah menjadi hiburan sekaligus upaya melestarikan warisan leluhur yang sarat makna.

Kepala Desa Tamansuruh, Teguh Eko Rahadi, menjelaskan bahwa tradisi ini sudah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat setempat. “Ritual Pencak Sumping ini bukan hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana silaturahmi dan pengingat bahwa ilmu bela diri bukan untuk kesombongan, melainkan untuk menjaga diri,” ujarnya.

Pada tahun ini, acara tersebut diikuti oleh 70 pesilat dari berbagai penjuru Banyuwangi dan disaksikan oleh sekitar 300 orang. Para pesilat lintas generasi tampil menunjukkan kebolehan mereka dalam seni bela diri yang memadukan keindahan gerak tubuh, kecepatan, kekuatan, dan kelincahan. Mereka juga harus menguasai berbagai teknik seperti tendangan, pukulan, sapuan, kuncian, hingga penggunaan senjata tajam.

Keunikan dari Pencak Sumping tidak hanya terletak pada seni beladirinya, tetapi juga pada musik pengiring yang khas bernuansa Osing, yang dimainkan dengan tempo cepat menggunakan alat musik tradisional seperti kendang, gong, kethuk, dan kecrek. Seluruh masyarakat Mondoluko juga menyuguhkan jajanan tradisional nogosari, yang dalam bahasa setempat disebut sumping, kepada para tamu dan peserta.

Menurut budayawan Aekanu Hariono, Pencak Sumping tidak hanya mengandung aspek olahraga dan bela diri, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pembinaan kerukunan dan penguatan mental spiritual.

“Masyarakat Osing memadukan seni dan pencak yang mencakup berbagai aspek kehidupan. Setiap tahun, saya selalu datang dan kadang mengajak wisatawan asing yang sedang berkunjung ke Banyuwangi untuk menyaksikan keunikan ritual ini,” tutur Aekanu.

Rangkaian acara dimulai malam sebelumnya dengan arak-arakan obor, atau yang dikenal dengan istilah ider bumi, di mana warga membawa sesaji ke setiap sudut desa sebagai simbol doa dan harapan akan kedamaian dan kesejahteraan.

Dengan segala keunikan dan kekayaan budaya yang ditampilkan, Pencak Sumping tidak hanya menjadi warisan yang terus dilestarikan oleh masyarakat Mondoluko, tetapi juga menjadi daya tarik budaya yang memperkaya khazanah pariwisata Banyuwangi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *